Dalam
kamus Islam kita mengenal dua cara untuk mendapatkan pahala
(kebaikan), yaitu memperbaiki (hubungan baik) manusia kepada yang
khalik (Allah), sering juga disebut dengan hubungan vertikal dan
hubungan antara sesama manusia disebut dengan hubungan horizontal.
Dua macam ini nilai ganjarannya sama yaitu ibadah. Kita sebut dua
cara macam hubungan tadi nilainya sama ibadah, tetapi bukan berarti
ibadah horizontal nilainya sama dengan nilai ibadah secara vertikal
langsung kepada Allah. Seperti yang kita tahu nilai ibadah vertikal
yaitu ibadah yang difokuskan pada pelaksanaan rukun islam. Seandainya
disebut setara, maka akan banyak kalangan Islam cukup mendahulukan
berbuat baik kepada manusia saja, dan boleh melupakan hal-hal yang
sudah tercantum dalam rukun islam tersebut. Jadi kata sama bukan
berarti setara pahalanya antara sholat kepada Allah dan berbuat baik
kepada manusia. Sekalipun dua-duanya diniatkan sama-sama berbuat
kebaikan dalam mencari ridho Allah SWT. Hingga kini tak seorang ulama
pun yang bisa mengukur berapa besar pahala sebuah nilai kebajikan
sesama manusia dibanding dengan pahala atas pekerjaan kita menyembah
Allah (sholat). Inilah sebuah rahasia Allah, hanya Allah yang pasti
sanggup mengukur bagaimana tingkat kesolehan manusia berbuat karya
sesama manusia itu sendiri, dan bagaimana pula Allah menilai
seseorang yang telah berlaku soleh terhadap-Nya.
Mengapa
kita membedakan tingkat pahala dari hubungan sesama manusia dan
hubungan kepada Allah semata ? Nilai dari hubungan baik yang
dilakukan kepada sesama manusia tidak sama halnya dengan nilai
ibadah-ibadah yang sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk
menjalankannya seperti shalat, puasa, zakat dll. Alangkah baiknya
kalau kedua hal tersebut dapat dijalankan secara bersama sehingga
tercipta suatu keseimbangan antara hubungan baik kepada manusia dan
hubungan baik kepada Allah SWT.
Seorang
ulama berpendapat bahwa nilai ibadah sesama manusia adalah sifatnya
melekat kepada nilai ibadah langsung kepada Allah. Artinya, apa yang
kita lakukan dengan niat baik, tulus membantu maka nilai ibadahnya
melekat kepada nilai shalat kita. Kalau kalimat itu dibalik menjadi
begini, nilai shalat kita seharusnya menjadi cerminan dari perbuatan
kita sehari-hari sesuai dengan tuntunan dari shalat itu sendiri. Baik
kepada Allah, maka kita pun wajib baik pula kepada manusia. Jadi
seharusnya nilai shalat memberikan cahaya kepada perbuatan baik
kepada manusia.
Seorang
dokter sedang melakukan ibadah shalat isya 4 rakaat. Belum rampung
dia sholat baru masuk 2 rakaat tiba-tiba datang seorang pasien sakit
berat dan memerlukan pertolongan dokter segera. Sebab kalau terlambat
1 detik saja, maka tamatlah riwayat nyawa sang pasien. Apa yang harus
dilakukan dokter ini ? sementara dia sedang tekun shalat. Apakah dia
akan teruskan shalatnya atau stop sholat dan lebih mendahulukan
pasien yang sedang gawat ini ? Sebetulnya ini berpulang kepada
kepribadian dokter tersebut, dia lebih memprioritaskan yang mana.
Dalam dunia islam ada dua aliran yang saling berbeda dan saling
bertolak belakang, dan ini boleh secara Islam. Yang satu aliran lunak
dan yang satu lagi aliran fikih yang cukup disiplin.
Jakarta
kota metropolitan jalan sering macet berjam-jam lamanya. Akibat ini,
maka kita akan sering telat untuk shalat. Mobil terjebak di
tengah-tengah kerumunan mobil-mobil lain sementara waktu shalat sudah
masuk maka apa yang harus diperbuat ? Kalau kita disiplin dengan
waktu atau menganut hukum fikih, maka dalam jebakan pun kita wajib
shalat jika sudah sampai waktunya. Tetapi kemana kita harus mencari
air wudhu. Kalau tidak ada, apakah kita sudah siap dengan bertayamum.
Apakah kita bisa konsentrasi untuk menghadap Allah dalam keadaan
demikian. Sangat banyak pertimbangan untuk segera menunaikan
kewajiban shalat di tengah jebakan itu.
Melihat
contoh kasus tadi, bagi kita yang menganut paham lunak, maka bisa
saja kita tidak menjalankan kewajiban beribadah karena terjebak dalam
kemacetan total. Terpaksa shalat kita tunda setelah sampai di rumah
atau di masjid untuk mengqodonya. Atau jika kita biasa di Jakarta,
dan tahu akan ada kemacetan yang berlangsung lama, maka kita pun
boleh melakukan shalat dengan cara menjamaknya. Jadi begitu
kemacetan, masuk ke shalat ashar kita sudah lebih dulu menjamaknya
sebelum ashar.
Atau
jika kita ingin bepergian jauh dan kita tahu setelah sampai di kota
yang baru nanti akan sulit mencari tempat shalat, maka bagi kalangan
yang menganut hukum lunak, dia dapat saja menjamak shalatnya sebelum
datang waktunya. Demikian pula jika ada di antara kita yang telat
shalat pada saatnya kita boleh mengqodonya.
Aliran
ini biasanya menganggap bahwa agama Islam itu tidak sulit, sangat
mudah dan boleh kita menjalankan perintah Allah menurut kemampuan
kita. Mudah disini bukan berarti kita harus memudah-mudahkan
kewajiban shalat kita. Tetapi mudah dalam arti boleh kita
melakukannya dipercepat atau diperlambat, karena ada halangan yang di
luar kemampuan manusia. Tetapi jika tidak ada penghalang yang
prinsipal, maka yang namanya kewajiban shalat harus ditunaikan tepat
waktu sesuai dengan anjuran fikih.
Kesimpulannya,
dalam dunia Islam ada dua aliran yang sangat berbeda dalam menilai
tingkat kesolehan manusia. Ada yang beraliran fikih dan ada yang
beraliran lunak. Dua aliran berbeda ini sangat berseberangan untuk
menilai sebuah objek ibadah, baik ibadah secara vertikal langsung
berhadapan manusia dengan yang khaliknya seperti shalat. Dan ada
berbuat kebajikan antara sesama manusia yang juga bernilai ibadah
sifatnya horizontal untuk kemaslahatan ummat. Yang jelas ibadah
shalat harus mencerminkan minimal memberikan cahaya kepada perbuatan
kita sehari-hari. Sesungguhnya shalat akan mampu mencegah manusia
dari perbuatan munkar.
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan cerdas dan bijak, lebih baik diam daripada anda komentar yang tidak bermutu